Senin, 21 Desember 2009

Kelemahan UU No 23 tahun 1997 (UUPLH)


Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Beragam hasil alam dapat dimanfaatkan oleh warga negaranya untuk memenuhi kebutuhannya. Seiring perkembangan zaman, manusia tidak hanya menggunakan hasil alam untuk menjaga kelangsungan hidupnya saja, akan tetapi manusia zaman sekarang cenderung memanfaatkan hasil alam secara maksimal untuk dikomersialisasikan demi mendapatkan keuntungan finansial. Dengan melihat fenomena tersebut, hukum harus berperan sebagai “body guard” alam melaui penerapan sanksi-sanksi yang dapat mencegah dan mengendalikan perusakan dan pencemaran lingkungan.

Dalam pranata hukum Indonesia, upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup telah dilakukan pemerintah dengan adanya undang-undang mengenai lungkungan hidup anatara lain :
•Undang – Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan –ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215 yang mulai berlaku tanggal 11 Maret 1982,
•Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 68 yang mulai berlaku tanggal 19 September 1997,
•Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 pada tanggal 3 Oktober 2009

Dengan disahkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2009 (PPLH) sebagai pengganti Undang-Undang No.23 tahun 1997 besar harapan agar tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hidup semakin meningkat dan penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini semakin menunjukkan taringnya, karena penerapan undang-undang terdahulunya yaitu Undang-Undang No.23 tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan mulai dari semenjak diundangkannya banyak memiliki celah bagi pelaku perusakan lingkungan untuk berdalih jika digugat melakukan perusakan lingkungan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah :

I. Dilihat dari pendayagunaan instrument hukum
Pendayagunaan instrument hukum lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama yang bersifat preventif seperti BML (Baku Mutu Lingkungan), AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan izin lingkungan, belum diatur dengan baik. Dari keseluruhan materi muatannya, ternyata UUPLH (UU no.23 th 1997) memberikan pengaturan yang sangat besar kepada tindak pidana lingkungan, sehingga UUPLH cenderung dinilai sebagai UU yang mengedepankan aspek represif, bukan pengelolaan lingkungan yang mengandung konotasi preventif. ( Siti Sundari Rangkuti )
Mengutip dari pendapat Siti Sundari Rangkuti tersebut, maka dapat dikatakan UUPLH yang mengedepankan aspek preventif membawa konsekuensi kurangnya perhatian terhadap lingkungan karena adanya ganti rugi, sanksi dan perbaikan atau pengembalian lingkungan hidup yang telah dirusak, padahal nyatanya, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan mudah karena untuk pemulihan lingkungan hidup memerlukan waktu yang lama. Ada baiknya jika dalam upaya penegakan hukum lingkungan terdapat keseimbangan dalam pendayagunaan instrument hukum, maka tanpa memandang aspek represif sebagai hal yang tidak berguna, akan tetapi memang sepatutnya dalam upaya pnegakan hukum lingkungan lebih mengedepankan aspek preventif dan sanksi pidana, perdata, ataupun administratifnya diperberat agar lingkungan hidup tidak semakin rusak.

II. Pemberlakuan hukum peninggalan kolonial
Masih berlakunya hukum peninggalan colonial seperti HO.STB 1926 No. 226 yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan penerapannya seperti dipaksakan. Pengetahuan aparat penegak hukum masih sangat kurang memahami aslinya HO sehingga lebih menerapkan terjemahan, secara yuridis interpretasi terhadap terjemahan tersebut menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dan tidak menjamin kepastian hukum. Menurut Prof.Dr.Philipus M Hadjon, S.H, belajar dari terjemahan adalah merupakan hukum yang semu atau hukum liar.
Hal yang demikian berdampak pada profesionalitas aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan lingkungan dan menindak pelanggaran terhadap UUPLH.

III. Adanya konflik norma
Dalam pasal 34 s.d pasal 38 UUPLH terdapat ketentuan mengenai strict diability, class action, dan legal standing yang merupakan sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan ketentuan pasal 39 UUPLH (tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku) menganut system hukum Eropa Continental.
Dapat dikatakan bahwa antara hukum materiil dengan hukum formilnya terjadi konflik yang mana dalam hukum materiilnya menggunakan system hukum Anglo Saxon dan dalam penegakannya (hukum formilnya) menganut system hukum Eropa Continental, bagaimana bisa hukum lingkungan akan terlaksana dengan baik jika sudah demikian adanya. Hal tersebut juga mengakibatkan hakim dapat saja menolak perkara dengan alasan adanya perbedaan system hukum.
Bentuk-bentuk hukum untuk menyelamatkan lingkungan hidup belum bisa dilaksanakan secara efektif dengan alasan karena adanya ketentuan pasal 39 UUPLH tersebut. Misalnya mengenai ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang mengatur mengenai pembuktian yakni pasal 1865 KUHperdata menyatakan bahwa siapa yang mendalilkan dialah yang membuktikan. Aturan tersebut merugikan lingkungan, dalam hal kasus pencemaran lingkungan oleh perusahaan besar yang merugikan masyarakat disekitarnya, jadi jika masyarakat menuntut perusahaan tersebut maka masyarakat pula yang harus membuktikan tindakan pencemaran tersebut. Hal itu sangat merugikan dan memberatkan masyarakat. Maka dengan ketentuan pasal 35 UUPLH mengenai tanggung jawab mutlak (stict diability), perusahaan yang kegiatannya menimbulkan kerugian terhadap lingkungan harus bertanggungjawab atas tindakannya tersebut. Tetapi seperti dijelaskan diatas, disini terdapat konflik norma dengan pasal 39 UUPLH.

IV. Penerapan UUPLH dalam iklim investasi
Undang-Undang No.23 tahun 1997 ini secara substansi memang begitu multi tafsir sehingga mempengaruhi upaya penegakan hukum lingkungan. Selain itu secara struktural UUPLH ini memang kalah dibandingkan dengan kebijakan investasi yang lebih pro kepada kepentingan pemilik modal besar, sehingga menimbulkan konflik yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. (Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia )

V. Proses hukum
Salah satu kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH) adalah dalam hal proses hukum pencemaran dan perusakan lingkungan. UUPLH beserta turunannya, terlalu prosedural dalam menjerat pelaku pencemaran. Sehingga, secara hukum, seseorang yang melakukan pencemaran, sangat mudah membuktikan bahwa ia “tidak terbukti secara hukum melakukan kesalahan”. Prosedur pembuktian pencemaran lingkungan terlalu kompleks dan rumit.
Para lawyer mengetahui celah kelemahan UUPLH, sehingga dengan piawai mereka akan bisa membebaskan para tersangka pencemaran lingkungan. Para tersangka pencemar lingkungan, memilih membayar lawyer yang handal, ketimbang membayar denda lingkungan dan masuk penjara. Secara hukum hal tersebut sah-sah saja. (September 11th, 2009 - Togar Arifin Silaban 2007. Powered by wordpress & enhanced by [[jeefuu.net]] )

VI. Ditinjau dari KUHP
Dengan adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum dalam KUHP yang berkaitan dengan lingkungan hidup sudah tidak sesuai dengan perkembangan kejahatan lingkungan yang semakin kompleks dimana KUHP tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum sehingga menimbulkan celah hukum (loopholes) dalam pemberantasan tindak pidana lingkungan. Selain itu ancaman pidana dalam KUHP terkait dengan tindak pidana lingkungan tidak menganut double track system (sanksi pidana yang dijatuhkan selain memberikan efek jera juga harus sebagai sarana rehabilitasi).
Di dalam KUHP terdapat rumusan delik yang berkaitan dengan lingkungan, rumusan tersebut terutama yang akan dilindungi ialah kesehatan dan nyawa manusia jadi, manusia adalah primer sedangkan lingkungan fisik adalah skunder. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan dan undang-undang penjabarannya, yang terutama dilindungi adalah lingkungan sedangkan manusia menjadi sekunder sebagai salah satu unsur didalamnya.
Pasal-pasal dalam KUHP itu adalah :
Pasal 202 KUHP, “Mencemari sumur, pompa air, mata air dan seterusnya berbahaya bagi nyawa atau kesehatan manusia”.
Pasal 203 KUHP, “Karena kelailaiannya mencemari sumur dan seterusnya itu”
Pasal 204 KUHP, “Menjual, menyerahkan dan seterusnya bahan-bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan orang lain”
Pasal 205 KUHP, “Karena kelalaiannya menyebabkan hal tersebut pada pasal 204”

VII. Tinjauan kasus
Dalam ketentuan pasal 41 UUPLH memakai istilah “kerusakan” dan “pencemaran” suatu istilah yang bersifat luas dan kurang konkret. Misalnya, bagaimana menafsirkan penangkapan binatang liar yang dilindungi sebagai “perbuatan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup”.
Hal ini telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sorong, yang mengatakan bahwa terdakwa yang membawa beberapa ekor burubg cendrawasih kelua Irian Jaya (Papua) dan memidana terdakwa dengan pidana penjara, sedangkan berdasarkan Dierenbeschermingsordonnatie 1933 yang mengatur delik semacam itu secara khusus pada waktu itu, hanya mengancam pidana denda maksimum Rp. 7.500,00. Sebagaimana diketahui rumusan delik ini dalam ordonansi itu lebih konkret, karena dikatakan barang siapa menangkap, membawa, mengangkut, memperdagangkan dan seterusnya diancam pidana.
Dengan sendirinya, berdasarkan ketentuan tentang concursus khususnya pasal 63 ayat (2) KUHP yang mengatakan bahwa jika suatu perbuatan termasuk dalam ketentuan umum dan juga ketentuan khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Dengan demikian Pengadilan Negeri Sorong dalam kasus burung cendrawasih sebenarnya secara yuridis keliru yaitu salah menerapkan hukum, kebutuhan hukumlah yang menuntut agar perbuatan semacam itu dipidana lebih berat, bukan Rp.7.500,00 seperti yang tercantum dalam hukum positif pada waktu itu. Dengan sudah dikeluarkannya undang-undang baru mengenai konservasi alam hayati yang melindungi binatang liar (langka) maka masalah seperti itu tidak akan timbul lagi. Ancaman pidananya sama dengan pasal 22 UULH 1982 (sekarang pasal 41 UUPLH).
Jaksa dan hakim sebenarnya hanya menjalankan undang-undang yang berlaku, DPR-lah yang harus memikirkan perubahan ancaman pidana delik di bidang lingkungan hidup, bukan memaksa jaksa dan hakim menerapkan dan memutus berdasarkan penafsiran yang bersifat akrobatik.
Hal tersebut dipandang melanggar Dierenbeschermingsordonnantie, tetapi pidananya berdasarkan pasal 22 UULH 1982. Jadi, sebenarnya kasus burung cendrawasih itu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, rumusan yang disebutkan sebelumnya bahwa praktik penerapan hukum akan memberi masukan kepada perencanaan undang-undang yang baru menjdai sangat perlu. Dalam menerapkan hukum di dalam praktik sering ditemukan masalah baru, yang pada gilirannya dapat dipecahkan dalm perubahan perudang-undangan. Terjadilah suatu siklus peraturan perundang-undangan yang semakin hari semakin sempurna.(Prof.Dr.jur.Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan,2008,hal.109)


by : indra mia henstin

2 komentar:

  1. Kalau buat tulisan ilmiah walau itu cuman blog pastikan dimasukan sumber nya.

    BalasHapus