Minggu, 20 Desember 2009

menuruuut Hukum Adat Bali

Harta Benda Perkawinan
Harta benda perkawinan merupakan hal yang penting karena merupakan modal yang dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan keagamaannya. Mengikuti penggolongan Undang-undang No. 1 tahun 1974, harta benda perkawinan meliputi :
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan berlangsung (pasal35ayat1). Dalam masyarakat Bali terdapat perbedaan penggunaan istilah untuk jenis harta ini yaitu ada yang menyebut dengan istilah druwe gabro, arok sekaya,dan lain-lain. Istilah yang lazim digunakan dalam awig-awig desa adatadalah pegunakaya atau gunakaya.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan (pasal 35ayat2). Dalam masyarakat Bali anak wanita bukanlah ahli waris sehingga istri tidak mungkin memperoleh harta karena warisan. Menurut hukum waris adat Bali anak wanita hanya mungkin menerima pemberian harta dari orang tuanya berdasarkan pemberian yang sifatnya sukarela yang disebut jiwadana. Harta bawaan istri disebut tetadan, sedangkan harta bawaan suami lazim disebut tetamian.

Perceraian
a. Perceraian diatur oleh undang-undang
perceraian dalam masyarakat Bali, khususnya dalam awig-awig desa adat lazim disebut nyapian atau palas perabian. Apabila perkawinan putus karena kematian suami, istri akan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami dengan status sebagai balu(janda) dan tetap melaksanakan swadharmaning balu. Hal ini konsisten dengan prinsip yang dianut dalam sistem kekeluargaan kepurusa yaitu dengan perkawinan seorang istri sudah menjadi bagian dari keluarga suami.
Masalah perceraian sudah diatur secara nasional melalui Undang-undang Perkawinan. Undang-undang ini menganut prinsip mempersukar perceraian. Faktor yang menentukan terjadinya perceraian menurut hukum yang berlaku sekarang adalah adanya Keputusan Pengadilan. Diluar prosedur itu tidak terjadi perceraian, artinya apabila perceraian hanya dilakukan secara adat dengan disaksikan prajuru adat (pemimpin adat) tidak memutuskan hubbungan perkawinan.
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akiibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat (pasal 44 ayat 2). Panitra Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

b. Akibat Hukum Perceraian
1. akibat perceraian terhadap status suami istri
Dalam masyarakat Bali status bekas suami dan bekas istri adalah nyapian untuk menyebut janda atau duda cerai. Status ini akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban mereka dalam masyarakat sebagai kerama banjar atau kerama desa. Bekas suami tetap melanjutkan kedudukannya sebagai kerama banjar tetapi kewajibannya disesuaikan dengan keadaannya yaitu hanya dikenakan ayahan lanang saja. Pada umumnya bekas istri akan kembali kerumah orang tuanya dan apbila ia diterima kembali dengan baik oleh keluarganya maka statusnya adalah mulih deha sehingga hak dan kewajiban dirumah orang tuanya kembali sebagaimana ketika ia belum kawin.
2. akibat perceraian terhadap kedudukan anak
Mmenurut hukum adat Bali, perceraian tidak mengakibatkan perubahan status dan kedudukan pada anak. Anak tetap berkedudukan hukum pada keluarga bapaknya sehingga ia mengemban hak dan kewajiban dilingkungan keluarga bapaknya. Jika seorang anak terlalu lama ikut ibunya, maka hak dan kewajiban anak dalam keluarga bapaknya dapat menjadi gugur.
3. akibat perceraian terhadap kedudukan harta benda perkawinan
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan. Berdasarkan pasal 37 pengaturan hal ini, khususnya terhadap harta bersama, diserahkan kepada hukumnya masing-masing, termasuk hukum adat.

Menurut hukum adat Bali, harta bawaan masing suami atau istri akan kembali kepada masing-masing pihak apabila terjadi perceraian. Sekarang hakim tidak lagi melihat faktor pihak yang bersalah dalam perceraian untuk menentukan hak masing-masing terhadap harta. Sepanjang dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah harta bersama atau pegunakaya, maka harta tersebut dibagi dua samarata.


by : indra mia henstin

1 komentar:

  1. apakah proses perceraian adat bali bisa di wakilkan orang lain( keluarga) tanpa kedatangan orang yg bersangkutan? terimakasih.

    BalasHapus