Senin, 21 Desember 2009

Kelemahan UU No 23 tahun 1997 (UUPLH)


Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Beragam hasil alam dapat dimanfaatkan oleh warga negaranya untuk memenuhi kebutuhannya. Seiring perkembangan zaman, manusia tidak hanya menggunakan hasil alam untuk menjaga kelangsungan hidupnya saja, akan tetapi manusia zaman sekarang cenderung memanfaatkan hasil alam secara maksimal untuk dikomersialisasikan demi mendapatkan keuntungan finansial. Dengan melihat fenomena tersebut, hukum harus berperan sebagai “body guard” alam melaui penerapan sanksi-sanksi yang dapat mencegah dan mengendalikan perusakan dan pencemaran lingkungan.

Dalam pranata hukum Indonesia, upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup telah dilakukan pemerintah dengan adanya undang-undang mengenai lungkungan hidup anatara lain :
•Undang – Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan –ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215 yang mulai berlaku tanggal 11 Maret 1982,
•Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 68 yang mulai berlaku tanggal 19 September 1997,
•Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 pada tanggal 3 Oktober 2009

Dengan disahkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2009 (PPLH) sebagai pengganti Undang-Undang No.23 tahun 1997 besar harapan agar tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hidup semakin meningkat dan penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini semakin menunjukkan taringnya, karena penerapan undang-undang terdahulunya yaitu Undang-Undang No.23 tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan mulai dari semenjak diundangkannya banyak memiliki celah bagi pelaku perusakan lingkungan untuk berdalih jika digugat melakukan perusakan lingkungan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah :

I. Dilihat dari pendayagunaan instrument hukum
Pendayagunaan instrument hukum lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama yang bersifat preventif seperti BML (Baku Mutu Lingkungan), AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan izin lingkungan, belum diatur dengan baik. Dari keseluruhan materi muatannya, ternyata UUPLH (UU no.23 th 1997) memberikan pengaturan yang sangat besar kepada tindak pidana lingkungan, sehingga UUPLH cenderung dinilai sebagai UU yang mengedepankan aspek represif, bukan pengelolaan lingkungan yang mengandung konotasi preventif. ( Siti Sundari Rangkuti )
Mengutip dari pendapat Siti Sundari Rangkuti tersebut, maka dapat dikatakan UUPLH yang mengedepankan aspek preventif membawa konsekuensi kurangnya perhatian terhadap lingkungan karena adanya ganti rugi, sanksi dan perbaikan atau pengembalian lingkungan hidup yang telah dirusak, padahal nyatanya, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan mudah karena untuk pemulihan lingkungan hidup memerlukan waktu yang lama. Ada baiknya jika dalam upaya penegakan hukum lingkungan terdapat keseimbangan dalam pendayagunaan instrument hukum, maka tanpa memandang aspek represif sebagai hal yang tidak berguna, akan tetapi memang sepatutnya dalam upaya pnegakan hukum lingkungan lebih mengedepankan aspek preventif dan sanksi pidana, perdata, ataupun administratifnya diperberat agar lingkungan hidup tidak semakin rusak.

II. Pemberlakuan hukum peninggalan kolonial
Masih berlakunya hukum peninggalan colonial seperti HO.STB 1926 No. 226 yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan penerapannya seperti dipaksakan. Pengetahuan aparat penegak hukum masih sangat kurang memahami aslinya HO sehingga lebih menerapkan terjemahan, secara yuridis interpretasi terhadap terjemahan tersebut menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dan tidak menjamin kepastian hukum. Menurut Prof.Dr.Philipus M Hadjon, S.H, belajar dari terjemahan adalah merupakan hukum yang semu atau hukum liar.
Hal yang demikian berdampak pada profesionalitas aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan lingkungan dan menindak pelanggaran terhadap UUPLH.

III. Adanya konflik norma
Dalam pasal 34 s.d pasal 38 UUPLH terdapat ketentuan mengenai strict diability, class action, dan legal standing yang merupakan sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan ketentuan pasal 39 UUPLH (tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku) menganut system hukum Eropa Continental.
Dapat dikatakan bahwa antara hukum materiil dengan hukum formilnya terjadi konflik yang mana dalam hukum materiilnya menggunakan system hukum Anglo Saxon dan dalam penegakannya (hukum formilnya) menganut system hukum Eropa Continental, bagaimana bisa hukum lingkungan akan terlaksana dengan baik jika sudah demikian adanya. Hal tersebut juga mengakibatkan hakim dapat saja menolak perkara dengan alasan adanya perbedaan system hukum.
Bentuk-bentuk hukum untuk menyelamatkan lingkungan hidup belum bisa dilaksanakan secara efektif dengan alasan karena adanya ketentuan pasal 39 UUPLH tersebut. Misalnya mengenai ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang mengatur mengenai pembuktian yakni pasal 1865 KUHperdata menyatakan bahwa siapa yang mendalilkan dialah yang membuktikan. Aturan tersebut merugikan lingkungan, dalam hal kasus pencemaran lingkungan oleh perusahaan besar yang merugikan masyarakat disekitarnya, jadi jika masyarakat menuntut perusahaan tersebut maka masyarakat pula yang harus membuktikan tindakan pencemaran tersebut. Hal itu sangat merugikan dan memberatkan masyarakat. Maka dengan ketentuan pasal 35 UUPLH mengenai tanggung jawab mutlak (stict diability), perusahaan yang kegiatannya menimbulkan kerugian terhadap lingkungan harus bertanggungjawab atas tindakannya tersebut. Tetapi seperti dijelaskan diatas, disini terdapat konflik norma dengan pasal 39 UUPLH.

IV. Penerapan UUPLH dalam iklim investasi
Undang-Undang No.23 tahun 1997 ini secara substansi memang begitu multi tafsir sehingga mempengaruhi upaya penegakan hukum lingkungan. Selain itu secara struktural UUPLH ini memang kalah dibandingkan dengan kebijakan investasi yang lebih pro kepada kepentingan pemilik modal besar, sehingga menimbulkan konflik yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. (Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia )

V. Proses hukum
Salah satu kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH) adalah dalam hal proses hukum pencemaran dan perusakan lingkungan. UUPLH beserta turunannya, terlalu prosedural dalam menjerat pelaku pencemaran. Sehingga, secara hukum, seseorang yang melakukan pencemaran, sangat mudah membuktikan bahwa ia “tidak terbukti secara hukum melakukan kesalahan”. Prosedur pembuktian pencemaran lingkungan terlalu kompleks dan rumit.
Para lawyer mengetahui celah kelemahan UUPLH, sehingga dengan piawai mereka akan bisa membebaskan para tersangka pencemaran lingkungan. Para tersangka pencemar lingkungan, memilih membayar lawyer yang handal, ketimbang membayar denda lingkungan dan masuk penjara. Secara hukum hal tersebut sah-sah saja. (September 11th, 2009 - Togar Arifin Silaban 2007. Powered by wordpress & enhanced by [[jeefuu.net]] )

VI. Ditinjau dari KUHP
Dengan adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum dalam KUHP yang berkaitan dengan lingkungan hidup sudah tidak sesuai dengan perkembangan kejahatan lingkungan yang semakin kompleks dimana KUHP tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum sehingga menimbulkan celah hukum (loopholes) dalam pemberantasan tindak pidana lingkungan. Selain itu ancaman pidana dalam KUHP terkait dengan tindak pidana lingkungan tidak menganut double track system (sanksi pidana yang dijatuhkan selain memberikan efek jera juga harus sebagai sarana rehabilitasi).
Di dalam KUHP terdapat rumusan delik yang berkaitan dengan lingkungan, rumusan tersebut terutama yang akan dilindungi ialah kesehatan dan nyawa manusia jadi, manusia adalah primer sedangkan lingkungan fisik adalah skunder. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan dan undang-undang penjabarannya, yang terutama dilindungi adalah lingkungan sedangkan manusia menjadi sekunder sebagai salah satu unsur didalamnya.
Pasal-pasal dalam KUHP itu adalah :
Pasal 202 KUHP, “Mencemari sumur, pompa air, mata air dan seterusnya berbahaya bagi nyawa atau kesehatan manusia”.
Pasal 203 KUHP, “Karena kelailaiannya mencemari sumur dan seterusnya itu”
Pasal 204 KUHP, “Menjual, menyerahkan dan seterusnya bahan-bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan orang lain”
Pasal 205 KUHP, “Karena kelalaiannya menyebabkan hal tersebut pada pasal 204”

VII. Tinjauan kasus
Dalam ketentuan pasal 41 UUPLH memakai istilah “kerusakan” dan “pencemaran” suatu istilah yang bersifat luas dan kurang konkret. Misalnya, bagaimana menafsirkan penangkapan binatang liar yang dilindungi sebagai “perbuatan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup”.
Hal ini telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sorong, yang mengatakan bahwa terdakwa yang membawa beberapa ekor burubg cendrawasih kelua Irian Jaya (Papua) dan memidana terdakwa dengan pidana penjara, sedangkan berdasarkan Dierenbeschermingsordonnatie 1933 yang mengatur delik semacam itu secara khusus pada waktu itu, hanya mengancam pidana denda maksimum Rp. 7.500,00. Sebagaimana diketahui rumusan delik ini dalam ordonansi itu lebih konkret, karena dikatakan barang siapa menangkap, membawa, mengangkut, memperdagangkan dan seterusnya diancam pidana.
Dengan sendirinya, berdasarkan ketentuan tentang concursus khususnya pasal 63 ayat (2) KUHP yang mengatakan bahwa jika suatu perbuatan termasuk dalam ketentuan umum dan juga ketentuan khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Dengan demikian Pengadilan Negeri Sorong dalam kasus burung cendrawasih sebenarnya secara yuridis keliru yaitu salah menerapkan hukum, kebutuhan hukumlah yang menuntut agar perbuatan semacam itu dipidana lebih berat, bukan Rp.7.500,00 seperti yang tercantum dalam hukum positif pada waktu itu. Dengan sudah dikeluarkannya undang-undang baru mengenai konservasi alam hayati yang melindungi binatang liar (langka) maka masalah seperti itu tidak akan timbul lagi. Ancaman pidananya sama dengan pasal 22 UULH 1982 (sekarang pasal 41 UUPLH).
Jaksa dan hakim sebenarnya hanya menjalankan undang-undang yang berlaku, DPR-lah yang harus memikirkan perubahan ancaman pidana delik di bidang lingkungan hidup, bukan memaksa jaksa dan hakim menerapkan dan memutus berdasarkan penafsiran yang bersifat akrobatik.
Hal tersebut dipandang melanggar Dierenbeschermingsordonnantie, tetapi pidananya berdasarkan pasal 22 UULH 1982. Jadi, sebenarnya kasus burung cendrawasih itu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, rumusan yang disebutkan sebelumnya bahwa praktik penerapan hukum akan memberi masukan kepada perencanaan undang-undang yang baru menjdai sangat perlu. Dalam menerapkan hukum di dalam praktik sering ditemukan masalah baru, yang pada gilirannya dapat dipecahkan dalm perubahan perudang-undangan. Terjadilah suatu siklus peraturan perundang-undangan yang semakin hari semakin sempurna.(Prof.Dr.jur.Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan,2008,hal.109)


by : indra mia henstin

Minggu, 20 Desember 2009

Sistematika Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan

Menurut Lampiran Undang-Undang RI No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas :
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar, Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)

by : indra mia henstin

menuruuut Hukum Adat Bali

Harta Benda Perkawinan
Harta benda perkawinan merupakan hal yang penting karena merupakan modal yang dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan keagamaannya. Mengikuti penggolongan Undang-undang No. 1 tahun 1974, harta benda perkawinan meliputi :
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan berlangsung (pasal35ayat1). Dalam masyarakat Bali terdapat perbedaan penggunaan istilah untuk jenis harta ini yaitu ada yang menyebut dengan istilah druwe gabro, arok sekaya,dan lain-lain. Istilah yang lazim digunakan dalam awig-awig desa adatadalah pegunakaya atau gunakaya.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan (pasal 35ayat2). Dalam masyarakat Bali anak wanita bukanlah ahli waris sehingga istri tidak mungkin memperoleh harta karena warisan. Menurut hukum waris adat Bali anak wanita hanya mungkin menerima pemberian harta dari orang tuanya berdasarkan pemberian yang sifatnya sukarela yang disebut jiwadana. Harta bawaan istri disebut tetadan, sedangkan harta bawaan suami lazim disebut tetamian.

Perceraian
a. Perceraian diatur oleh undang-undang
perceraian dalam masyarakat Bali, khususnya dalam awig-awig desa adat lazim disebut nyapian atau palas perabian. Apabila perkawinan putus karena kematian suami, istri akan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami dengan status sebagai balu(janda) dan tetap melaksanakan swadharmaning balu. Hal ini konsisten dengan prinsip yang dianut dalam sistem kekeluargaan kepurusa yaitu dengan perkawinan seorang istri sudah menjadi bagian dari keluarga suami.
Masalah perceraian sudah diatur secara nasional melalui Undang-undang Perkawinan. Undang-undang ini menganut prinsip mempersukar perceraian. Faktor yang menentukan terjadinya perceraian menurut hukum yang berlaku sekarang adalah adanya Keputusan Pengadilan. Diluar prosedur itu tidak terjadi perceraian, artinya apabila perceraian hanya dilakukan secara adat dengan disaksikan prajuru adat (pemimpin adat) tidak memutuskan hubbungan perkawinan.
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akiibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat (pasal 44 ayat 2). Panitra Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

b. Akibat Hukum Perceraian
1. akibat perceraian terhadap status suami istri
Dalam masyarakat Bali status bekas suami dan bekas istri adalah nyapian untuk menyebut janda atau duda cerai. Status ini akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban mereka dalam masyarakat sebagai kerama banjar atau kerama desa. Bekas suami tetap melanjutkan kedudukannya sebagai kerama banjar tetapi kewajibannya disesuaikan dengan keadaannya yaitu hanya dikenakan ayahan lanang saja. Pada umumnya bekas istri akan kembali kerumah orang tuanya dan apbila ia diterima kembali dengan baik oleh keluarganya maka statusnya adalah mulih deha sehingga hak dan kewajiban dirumah orang tuanya kembali sebagaimana ketika ia belum kawin.
2. akibat perceraian terhadap kedudukan anak
Mmenurut hukum adat Bali, perceraian tidak mengakibatkan perubahan status dan kedudukan pada anak. Anak tetap berkedudukan hukum pada keluarga bapaknya sehingga ia mengemban hak dan kewajiban dilingkungan keluarga bapaknya. Jika seorang anak terlalu lama ikut ibunya, maka hak dan kewajiban anak dalam keluarga bapaknya dapat menjadi gugur.
3. akibat perceraian terhadap kedudukan harta benda perkawinan
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan. Berdasarkan pasal 37 pengaturan hal ini, khususnya terhadap harta bersama, diserahkan kepada hukumnya masing-masing, termasuk hukum adat.

Menurut hukum adat Bali, harta bawaan masing suami atau istri akan kembali kepada masing-masing pihak apabila terjadi perceraian. Sekarang hakim tidak lagi melihat faktor pihak yang bersalah dalam perceraian untuk menentukan hak masing-masing terhadap harta. Sepanjang dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah harta bersama atau pegunakaya, maka harta tersebut dibagi dua samarata.


by : indra mia henstin

dasar berlakunya Hk.internasional

Teori-teori Dasar Berlakunya Hukum Internasional
Mengenai dasar berlakunya hukum internasional, terdapat dua aliran atau masab hukum yang menjadi kekuatan mengikat dan berlakunya hukum internasional, yaitu Aliran Hukum Alam dan Aliran Hukum Positif.
1. Aliran Hukum Alam (natural law)
Aliran ini menyatakan bahwa hukum itu berasal dari alam dan diturunkan oleh alam kepada manusia melalui akal atau rasionalnya. Hukum dipandang sebagai suatu yang bersifat universal dan abadi. Menurut para penganut aliran ini, hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam. Dengan kata lain hukum internasional adalah hukum alam yang diberlakukan kepada masyarakat bangsa-bangsa atau masyarakat internasional. Oleh karena itu, hukum internasional juga memiliki kekuatan mengikat sama halnya seperti dengan kekuatan mengikat daripada hukum alam.
Kelemahan dari teori ini adalah ketidakjelasan mengenai konsepsi dari hukum alam tersebut. Hal itu mengakibatkan isi dan substansi hukum alam menjadi sangat subjektif karena tergantung dari pendapat atau penafsiran dari pengikutnya masing-masing. Walaupun ada kelemahannya, akan tetapi teori ini juga memiliki peran besar sebagai landasan yang ideal bagi norma hukum pada umumnya. Aliran hukum alam memiliki 2 periodosasi yaitu pada abad pertengahan dengan memiliki ciri keagamaan / ketuhanan yang sangat kuat, dan pada masa setelah abad pertengahan dengan tanpa pengaruh ajaran keagamaan / ketuhanan. Tokoh pada aliran hukum alam antara lain Hugo Grotius dan Emmerich Vattel.
2. Aliran Hukum Positif
Aliran ini muncul karena adanya perubahan sikap dan cara berpikir dari masyarakat, orang-orang tidak lagi berorientasi pada hal-hal yang bersifat ideal dan abstrak (konsep hukum alam) dalam memecahkan masalah, melainkan berorientasi pada hal-hal yang bersifat nyata yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan cara berpikir atas hukum itulah yang menimbulkan aliran baru, yaitu aliran hukum positif.
Menurut aliran ini, hukum itu mengikat masyarakat atau masyarakat tunduk pada hukum, disebabkan karena masyarakat itu sendiri yang menginginkan dan membutuhkan hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya. Jika dihubungkan dengan keberadaan hukum internasional, maka dalam aliran Hukum Positif terdapat dua teori atau aliran yaitu Teori Voluntaris dan Aliran Objektivis, kemudian terdapat teori-teori yang termasuk didalamnya yang menjadi kekuatan mengikatnya hukum internasional, antara lain :
A. Teori Voluntaris
Teori ini merupakan teori yang mendasarkan berlakunya hukum Internasional pada kehengak negara. Teori ini dapat dibagi menjadi :
a. teori kehendak negara
George Jellineck menyatakan bahwa negara – negara sebagai suatu pribadi hukum yang memiliki kedaulatan bersedia tunduk pada hukum internasional karena negara-negara tersebut yang menghendakinya. Jadi, berdasarkan kehendaknya, negara-negara tersebut bebas untuk menyatakan diri terikat atau tidak pada hukum internasional. George Jellineck menempatkan kedaulatan negara dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum internasional. Selain George Jellineck, tokoh lain yang menganut teori ini adalah Hegel dan Zorn.
b. teori kehendak bersama
Teori ini disebut juga Vereinbarungs-theorie, yang menyatakan bahwa jika negara–negara tunduk dan terikat pada hukum internasional, hal itu disebabkan karena terdapat kehendak bersama dari negara-negara. Jika suatu saat ada negara yang ingin menarik diri secara sepihak maka harus mendapat persetujuan bersama dari negara-negara lainnya. Hal tersebut juga merupakan manifestasi dari kehendak bersama negara-negara. Kelemahan dari teori ini adalah terlalu menitikberatkan hukum internasional pada perjanjian-perjanjian internasional, padahal masih ada bentuk-bentuk hukum internasional lainnya yang berlaku dan mengikat terhadap negara-negara tanpa didahului dengan persetujuan dan kehendak bersama. Tokoh yang terkenal sebagai penganut teori ini adalah Triepel.
B. Aliran Objektivis
Teori ini dapat dikatakan berdasarkan pada suatu hukum atau norma. Negara-negara (masyarakat negara) tunduk pada hukum internasional karena menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang lebih dahulu ada, dan berlaku lepas dari kehendak negara. Teori yang termasuk dalam aliran ini adalah :
a. mashab Wina
Hans Kelsen sebagai pelopor teori ini menyatakan bahwa hukum nasional dan hukum internasional hanyalah bagian-bagian saja dari satu kesatuan hukum yang lebih besar yakni hukum pada umumnya. Berlaku dan mengikatnya hukum internasional karena adanya norma yang lebih tinggi daripadanya. Mengikatnya norma yang tinggi itu karena adanya norma atau hukum yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya hingga sampai pada puncak yang paling tinggi, yang harus diterima sebagai hipotesa awal yang tidak dapat diterangkan secara hukum, yaitu disebut norma dasar atau Grundnorm.
Kelemahan dari teori ini adalah ketidakmampuan untuk menjelaskan alasan dari Grundnorm yang dikatakan sebagai hukum yang paling tinggi dan sebagai norma dasar, padahal itu masih merupakan sebuah hipotesa awal yang bersifat abstrak.
b. mashab Perancis
Disebut juga mashab sosiologis. Teori yang berdasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan Fakta-fakta Kemasyarakatan.
Menurut Mashab Perancis ini, berlaku dan mengikatnya hukum internasional dikembalikan pada kenyataan sosial yaitu kebutuhan adanya hukum untuk terciptanya hidup teratur dan dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat. Tokoh pada teori ini adalah Fauchile, Scelle dan Duguit.


by : indra mia henstin

Sabtu, 19 Desember 2009

Surat Dakwaan

Menurut Prof.Dr.jur.Andi Hamzah, bahwa surat dakwaan memiliki persamaan dengan surat gugatan pada tuntutan perdata yakni karena dengan surat itulah hakim dapat melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas dalam surat gugatan / dakwaan itulah hakim akan memutuskan. Disamping itu, terdapat perbedaan yang asasi, yaitu kalau surat gugatan disusun oleh pihak yang dirugikan, sedangkan dalam pembuatan surat dakwaan, penuntut umum (jaksa) tidak tergantung pada kemauan korban (kecuali dalam delik aduan). Menurut M.Yahya Harahap, bahwa Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan.Menurut Karim Nasution, bahwa Tuduhan (dakwaan) adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan. Menurut I.A Nederburgh dalam bukunya Hoofdstuken over strafvordering deel, menyebutkan bahwa surat dakwaan adalah sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana karena ialah yang merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas itu dilampaui, tetapi putusan hakim hanyalah boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas-batas itu. Sebab itu terdakwa tidaklah dapat dihukum karena suatu tindak pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan, juga tidak tentang tindak pidana yang walaupun disebut didalamnya, tetapi tindak pidana tersebut hanya dapat dihukum dalam suatu keadaan tertentu yang ternyata memang ada, tetapi tidak dituduhkan. Demikian pula tidak dapat dihukum, karena tindak pidana tersebut telah terjadi secara lain dari pada yang dituduhkan. Menurut pasal 140 ayat 1 KUHAP, bahwa “dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”
Maka dapat dikatakan bahwa apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, maka ia dalam waktu secepatnya membuat surat atau akte yang memuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan dari penyidik yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan disidang pengadilan.